- Home>
- Artikel Pendidikan >
- KONSEP PENDIDIKAN MENURUT AZ-ZARNUJI
Posted by : MI Bustanul Ulum Sumberanyar
15 Oktober 2012
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Konsep
pendidikan Az Zarnuji dalam karya monumentalnya kitab Ta’lim Muta’allim banyak dikaji dan dijadikan tuntunan dan panduan
belajar bagi peserta didik sekaligus panduan bagi pendidik yang sangat populer
di hampir seluruh pesantren di Indonesia. Begitu populernya hingga kitab Ta’lim Muta’allim telah dicetak di
berbagai negara baik di Barat maupun di Timur, misalnya di Jerman, Libzig,
Tunisia, Mesir dan seterusnya. Kitab tersebut oleh kebanyakan ahli dinilai
sebagai kitab yang cukup memadai untuk dijadikan tuntunan peserta didik agar
dapat mencapai sukses dalam belajar serta menjadi insan yang utuh,
berkepribadian.
Menyadari
akan pentingnya makna pendidikan bagi terbentuknya generasi yang memiliki
kepribadian, di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba materialistik dan
rasionalistik ini, maka konsep pendidikan yang dituangkan Az Zarnuji dalam
kitab Ta’lim Muta’allim yang diasumsikan
sebagai karya kependidikan klasik yang didasarkan pada nilai-nilai islami, besar
artinya jika dikaji kembali secara kritis, terutama di kalangan peserta didik
dalam rangka memperoleh wawasan kependidikan yang utuh yang menyelaraskan
pengembangan potensi akal dan etik, zikir dan pikir.
Maka
kami ingin mengungkap dan mengkaji lebih dalam lahi konsep pendidikan menurut
Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim dan
masih relevankah konsep pendidikan tersebut jika diterapkan dalam sistem
pendidikan kontemporer saat ini.
1.2
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah konsep pendidikan menurut Az Zarnuji?
- Bagaimanakah pemikiran Az Zarnuji tentang pola hubungan guru dan murid
- Bagaimanakah metode pembelajaran yang diterapkan oleh Az Zarnuji?
3.1
Tujuan
- Memahami konsep pendidikan menurut Az Zarnuji?
- Memahami pemikiran Az Zarnuji tentang pola hubungan guru dan murid?
- Memahami metode pembelajaran yang diterapkan oleh Az Zarnuji?
PEMBAHASAN
2.1 Biografi
Az Zarnuji
Nama lengkapnya adalah
Burhanuddin Al-Islam Al-Zarnuji. Tanggal kelahirannya belum diketahui secara
pasti. Mengenai tanggal wafatnya, terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan
beliau wafat pada tahun 591 H/1195 M, dan ada pula yang mengatakan beliau wafat
pada tahun 840 H/1243 M. Hidup beliau semasa dengan Ridha Al-Din Al-Naisari,
antara tahun 500-600 H. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai tempat
kelahirannya. Namun dilihat dari nisbahnya, Az Zarnuji, maka sebagian peneliti
mengatakan bahwa beliau berasal dari zarnuji,
suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afghanistan.[1]
Az Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara
dan samarkand, dua kota yang menjadi pusat keilmuan dan pengajaran. Masjid-masjid
di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim, yang
diasuh antara lain oleh Burhanuddin Al-Marginani, Syamsuddin Abd Al-Wajdi
Muhammad bin Muhammad bin Abd dan Al-Sattar Al-Amidi. Selain itu, Az Zarnuji juga belajar pada Rukn Al-Din
Al-Firqinani, seorang ahli Fiqh, satrawan dan penyair (w. 594 H/1196 M), Hammad
bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam, sastrawan dan penyair (w. 564 H/1170 M)
dan Rukn Al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir
Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqh, sastra dan syair (w.
573 H/1177 M).
Az Zarnuji, selain ahli dalam bidang
pendidikan dan tasawuf, juga menguasai bidang-bidang lain seperti sastra, fiqh,
ilmu kalam dan sebagainya.
2.2 Situasi Pendidikan pada Zaman Az Zarnuji
Dalam sejarah
pendidikan Islam, terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Pertama, pendidikan pada masa Nabi
Muhammad saw. (571-632 M). Kedua, pendidikan
pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Ketiga,
pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M). Keempat, pendidikan pada masa jatuhnya
khalifah di Baghdad (1250-sekarang).
Dari periodisasi di atas, Az Zarnuji
hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam,
antara 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan
peradaban Islam, terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada masa itu
kebudayaan Islam berkembang pesat dengan ditandai oleh tumbuhnya berbagai
lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Di
antaranya adalah Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk
(457-1106 M), Madrasah Al-Nuriyah Al-Kubra, didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki
(563-1167 M), Madrasah Al-Mustansyirah didirikan oleh khalifah Abbasyiah,
Al-Mustansir Billah di Baghdad (631 H/1234 M).
Selain ketiga madrasah tersebut,
masih banyak lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang pesat pada
zaman Az zarnuji hidup. Dengan informasi tersebut, tampak jelas bahwa beliau
hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mengalami puncak
kejayaan, yaitu pada masa Abbasyiah yang ditandai dengan munculnya
pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi. Kondisi pertumbuhan
dan perkembangan tersebut sangat menguntungkan bagi pembentukan Az Zarnuji
sebagai seorang ilmuwan atau ulama yang luas pengetahuannya.[2]
2.3 Konsep Pendidikan Az Zarnuji
Konsep pendidikan
beliau tertuang dalam karya monumentalnya, kitab “Ta’lim al-Muta’allim
Thuruq al-Ta’allum”. Kitab ini diakui sebagai karya yang monumental dan
sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini juga banyak dijadikan bahan
penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam
bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuwan Muslim saja,
tetapi juga dipakai oleh para orientalis dan penulis barat.
Keistimewaan lain dari kitab Ta’lim Muta’allim ini terletak pada
materi yang dikandungnya. Meskipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan
hanya membahas metode belajar, sebenarnya esensi kitab ini juga mencakup
tujuan, prinsip-prinsip dan strategi belajar yang didasarkan pada moral
religius. Kitab ini tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini juga
dicetak dan diterjemahkan serta dikaji di berbagai dunia, baik di Timur maupun
di Barat.
Di Indonesia, kitab Ta’lim Muta’allim dikaji dan dipelajari
hampir di setiap lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren,
bahkan di pondok pesantren modern. Dari pembahasan kitab ini, dapat diketahui
tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain:
1.
Hakikat
ilmu dan keutamaannya
2.
Niat
belajar
3.
Memilih
guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
4.
Menghormati
ilmu dan ulama
5.
Sungguh-sungguh,
kontinuitas dan minat yang kuat
6.
Permulaan
dan intensitas belajar serta tata tertibnya
7.
Tawakkal
kepada Allah SWT
8.
Saat
terbaik untuk belajar
9.
Kasih
sayang dan memberi nasehat
10. Mengambil pelajaran
11. Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat
dan haram) pada masa belajar
12. Penyebab hafal dan lupa
13. Masalah rezeki dan umur
1.
Hakikat ilmu dan keutamaannya
Belajar
itu hukumnya fardlu bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Namun
demikian, menurut Az zarnuji manusia tidak diwajibkan mempelajari segala macam
ilmu, tetapi hanya diwajibkan mempelajari ilm
al hal (pengetahuan-pengetahuan yang selalu dperlukan dalam menjunjung
kehidupan agamanya). Dan sebaik-baik amal adalah menjaga hal-hal.[3]
Di samping itu, manusia juga
diwajibkan mempelajari ilmu yang diperlukan setiap saat. Karena manusia
diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka ia juga diwajibkan mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi
perantara pada perbuatan wajib, maka wajib pula hukumnya.
Demikian pula, manusia wajib
mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau kariernya.
Seseorang yang sibuk dengan tugas kerjanya (misalnya berdagang), maka ia wajib
mengetahui bagaimana cara menghindari haram. Di samping itu, manusia juga
diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan
sebagainya.
Akhlak yang baik dan buruk serta
cara menjauhinya, menurut Az Zarnuji juga harus dipelajari, agar ia senantiasa
bisa menjaga dan menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang
kegunaannya hanya dalam waktu-waktu tertentu, hukumnya fardlu kifayah seperti
ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung
telah melaksanakan fardlu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang
lainnya. Tetapi jika seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya,
maka seluruh penduduk itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardlu
kifayah adalah di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas diharuskan
menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.[4]
Sedangkan mempelajari ilmu yang
tidak ada manfaatnya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya seperti
ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab,
hal itu sesungguhnya tidak bermanfaat dan justru membawa marabahaya karena lari
dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi. Ilmu menurut Az Zarnuji
adalah sifat yang kalau dimiliki oleh seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang
terlintas di dalam pengertiannya. Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang kelembutan-kelembutan ilmu. Sedangkan
mengenai keutamaan ilmu, Az Zarnuji mengutip ungkapan seorang penyair sebagai
berikut:
Belajarlah,
karena ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya, keutamaan dan tanda semua akhlak
yang terpuji. Usahakanlah, setiap hari menambah ilmu dan berenanglah di lautan
ilmu yang bermanfaat. Belajarlah ilmu fiqh, karena ia pandu yang paling utama
pada kebaikan, taqwa dan adilnya orang yang paling adil. Ia adalah tanda yang
membawa pada jalan petunjuk, ia adalah benteng yang menyelamatkan dari segala
kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang menjauhi perbuatan haram adalah lebih
membahayakan bagi setan dari pada seribu orang yang beribadah.
2.
Niat belajar
Mengenai
niat dan tujuan belajar, Az Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam
belajar adalah untuk mencari keridlaan Allah SWT., memperoleh kebahagiaan di
dunia dan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang
lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah.
Sehubungan dengan hal ini, Az Zarnuji
mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat
dalam belajar, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh,
mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah
niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta
berkuranglah kecintaannya pada harta dunia.[5]
3.
Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam
belajar
Peserta
didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang dibutuhkan dalam
kehidupan agamanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu mendatang. Ia perlu
mendahulukan ilmu tauhid dan ma’rifat beserta dalilnya. Semikian pula, perlu
memilih ilmu ‘atiq (kuno).
Dalam
memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara’, alim, berlapang dada dan
penyabar. Dan peserta didik juga harus sabar dan tabah dalam belajar kepada
pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Peserta
didik hendaknya memilih teman yang tekun, wara’, jujur, dan mudah memahami
masalah. Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan
pemfitnah. Seorang penyair mengatakan: “Teman durhaka lebih berbahaya dari pada
ular yang berbisa demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke
neraka Jahim sedangkan teman baik mengajakmu ke syurga Na’im.”
Di
samping itu, Az Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar bermusyawarah
dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara yang sangat penting,
tetapi juga sulit, maka bermusyawarah di sini menjadi lebih penting dan
diharuskan pelaksanaannya.[6]
4.
Menghormati ilmu dan ulama
Menurut
Az Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang yang berilmu dan
pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya, berkah ilmunya bisa tertutup
dan hanya sedikit kemanfaatannya. Sedangkan cara menghormati pendidik di
antaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya,
tidak memulai mengajak bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di
depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, dan
tidak duduk tertalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa.
Pada prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik
rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan
dengan agama Allah.
Termasuk
menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan serta memuliakan kitab.
Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam
keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci.
Sebab ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya
ilmu itu dengan wudlu. Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan,
yakni selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di
kemudian hari. Di samping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa
hormat, ia selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan
padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.
Untuk
menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia musyawarah dengan
pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih berpengalaman dalam belajar serta
mengetahui ilmu pada seseorang sesuai bakatnya. Az Zarnuji juga mengingatkan
agar peserta didik selalu menjaga diri dari akhlak tercela, terutama sikap sombong.
5.
Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
Peserta
didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu mengulangi pelajarannya
secara kontinu pada awal malam dan di akhir malam, yakni waktu antara maghrib
dan isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut kesempatan yang
memberkahi.
Peserta
didik jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak
mampu berbuat sesuatu. Kesungguhan dan
minat yang kuat adalah merupakan pangkal kesuksesan. Oleh karena itu,
barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk menghafal sebuah kitab misalnya.
Maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan mampu menghafalnya, separuh,
sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
6.
Permulaan dan intensitas belajar serta tata
tertibnya
Belajar
hendaknya dimulai pada hari rabu, sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya),
hari sialnya orang kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin. Bagi pemula
hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah
di ulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga
apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan mengulanginya
dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi. Selain itu, untuk pemula
hendaknya dipilihkan kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih
mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan kebosanan.
Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan diulangi
berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami, sebab hal itu bisa
menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
Diskusi,
menurut Az zarnuji juga perlu dilakukan oleh peserta didik. Manfaat diskusi
lebih besar dari pada sekedar mengulangi, sebab dalam diskusi, selain
mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan. Az Zarnuji juga mengingatkan agar
diskusi dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta menghindari hal-hal yang
membawa akibat negatif.
Peserta
didik hendaknya membiasakan diri senang membeli kitab. Sebab hal itu akan bisa memudahkan
ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik
berusaha sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut
Az Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian
belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain.
7.
Tawakkal kepada Allah SWT
Dalam
belajar, peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak tergoda oleh
urusan rezeki. Peserta didik hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi,
karena kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bahkan membahayakan hati,
akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu,
hendaknya peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi.
Peserta
didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Perlu disadari
bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas dari kesulitan, sebab
mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih
utama dari pada berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi
kesulitan dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi
segala kelezatan yang ada di dunia.
8.
Saat terbaik untuk belajar
Masa
belajar adalah semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat. Adapun masa yang
cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda. Belajar dilakukan pada waktu
sahur dan waktu antara maghrib dan isya’. Namun sebaiknya peserta didik
memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila telah merasa bosan
mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang lain.
9.
Kasih sayang dan memberi nasehat
Orang
alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat dan jangan
berbuat dengki. Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya
dengan akhlak mulia. Dengan demikian orang yang benci akan luluh sendiri.
Jangan berburuk sangka dan melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu
hanya menghabiskan waktu serta membuka aib sendiri.
10.
Mengambil pelajaran
Peserta
didik hendaknya memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, hingga dapat
mencapai keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk
mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya.
Az
zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu
peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu
memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang sepi. Di samping itu
peserta didik hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa nafsunya.
11.
Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram)
pada masa belajar
Di
waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara’, sebab dengan begitu
ilmunya akan lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih
mudah. Sedangkan yang termasuk perbuatan wara’ antara lain menjaga diri dari
terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal-hal
yang tidak bermanfaat.
Di
samping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan perbuatan-perbuatan
sunnah. Hendaknya memperbanyak shalat dan melaksanakannya secara khusyuk, sebab
hal itu akan membantunya dalam mencapai keberhasilan studinya. Dalam hal ini Az
Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta didik selalu membawa buku untuk
dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang
didapatkannya.ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di sakunya maka
tidak ada hikmah dalam hatinya.
12.
Penyebab hafal dan lupa
Yang
paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan, kontinu, mengurangi
makan, melaksanakan shalat malam, membaca al-Quran, banyak membaca shalawat
Nabi dan berdoa sewaktu mengambil buku serta seusai menulis.
Adapun
penyebab mudah lupa antara lain perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah karena
urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
13.
Masalah rezeki dan umur
Peserta
didik perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki, umur dan lebih sehat,
sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bangun
pagi-pagi itu diberkahi dan membawa berbagai macam kenikmatan, khususnya rizki.
Banyak bersedekah juga bisa menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat
untuk memperoleh rizki adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’ sempurna rukun,
wajib, sunnah dan adatnya. Di antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat
kebajikan, tidak menyakiti orang lain, bersilaturrahim dan lain sebagainya.
Terlalu berlebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda
dan mudah menyepelekan suatu perkara, semua itu bisa mendatangkan kefakiran
seseorang.
Menurut
Az zarnuji, peserta didik juga harus belajar ilmu kesehatan dan dapat
memanfaatkannya dalam menjaga kesehatan dirinya. Demikianlah deskripsi isi
kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum karya
Az Zarnuji. Beliau menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau
mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa
menyiarkannya. Menurut Az zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan
dan meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu,
beliau menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim
Thuruq al-Ta’allum dengan maksud menjelaskan kepada para peserta didik
tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga
studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan bermanfaat.
2.4 Pemikiran Az Zarnuji tentang pola
hubungan guru dan murid
Ada beberapa pemikiran
Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim
al-Muta’allim Thuruq
al-Ta’allum yang memberi acuan terhadap pola hubungan guru dan
murid.
·
Murid
tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan
pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan
dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. Posisi guru yang mengajari ilmu
walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan disebut bapak spiritual,
sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, yang memberi konsekuensi
bagi sikap dan perilaku murid sebagai manifestasi penghormatan terhadap guru
baik dalam lingkungan formal maupun nonformal. Sementara tingginya ilmu yang
dimiliki oleh guru, menjadikan fungsi guru sebagai dokter, menunjukkan nilai
kepercayaan dan pentingnya nasehat bagi murid dalam mencapai tujuan belajar
yang optimal.
·
Kontekstualisasi
hubungan guru murid menurut Az Zarnuji, menunjukkan bahwa penempatan guru pada
posisi terhormat terkait oleh sosok guru yang ideal. Yaitu guru yang memenuhi
kriteria dan kualifikasi kepribadian sebagai guru yang memiliki kecerdasan
ruhaniyah dan tingkat kesucian tinggi, di samping kecerdasan intelektual. Dalam
bahasa Az Zarnuji, guru ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai
kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab
terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridla Allah swt.[7]
Dengan
demikian, pemikiran Az Zarnuji berupaya membawa lingkungan belajar pada tingkat
ketekunan dan kewibawaan guru dalam ilmu dan pengajarannya. Sedangkan murid
sebagai individu yang belajar, menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam
belajar sebagai manifestasi daya juang dalam pencapaian ilmu yang diajarkan
oleh guru dalam rangka mencari ridla Allah SWT. dan untuk menuai
kemanfaatannya. Karena itu, pola hubungan guru dan murid yang tercipta adalah
pola hubungan timbal balik yang menempatkan posisi guru dan murid sesuai
proporsi masing-masing menuju tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, yaitu
terbentuknya pribadi yang berakhlakul karimah.
2.5 Metode pembelajaran
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim Az Zarnuji menjelaskan
bahwa metode pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik
strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan
langkah-langkah dalam belajar.
1) Cara memilih pelajaran; bagi orang yang
mencari ilmu sebaiknya mendahulukan memilih/mempelajari ilmu yang dibutuhkan
dalam urusan-urusan agamanya, seperti ilmu tauhid.
2) Cara memilih guru; sebaiknya memilih
guru yang lebih alim, wara’ dan umurnya lebih tua dari kita.
3) Cara memilih teman; mencari teman yang
rajin, wara’ dan berwatak baik, mudah paham akan pelajaran, tidak malas, tidak
banyak bicara dan lain sebagainya.
4) Langkah-langkah dalam belajar; mengenai
hal ini, termasuk juga aspek teknik pembelajaran, menurut Grunebaum dan Abel,
terdapat lima hal yang menjadi sorotan Az Zarnuji, yaitu (1) the curruculum and subject matter, (2) the choice of setting and teacher, (3) the time for study, (4) dynamics of learning, (5) the student’s relationship to other.[8]
2.6 Relevansinya dengan sistem pendidikan
kontemporer
Konsep
pendidikan yang tertuang dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum karya Az
Zarnuji, relatif bagus dalam persoalan bimbingan belajar. Hanya saja ketika
mempelajari konsep pendidikan Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim harus disertai dengan pemahaman yang dalam,
karena belum tentu apa yang dikonsepsikan oleh Az Zarnuji dapat pula diterapkan pada saat
ini. Seperti membaca tulisan pada nisan dapat menyebabkan lupa, menyapu di
malam hari dapat menghambat rizki. Hal-hal tersebut sudah tidak bisa lagi
diterapkan karena sudah dipandang tidak logis.
Sebenarnya bila dikaji lagi banyak
sekali hal-hal yang yang masih relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada
beberapa pendapat beliau yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak
baik untuk menolak isi kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya
menerima begitu saja tanpa mencari kebenarannya.
Maka jika kitab ini dikaji di
pesantren, supaya tidak menimbulkan akses yang tidak diinginkan, sebaiknya
diajarkan oleh seorang guru yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai
bimbingan belajar, sehingga bila memenuhi gagasan yang dianggap kurang relevan
dengan zaman sekarang, bisa mengadakan reinterpretasi atau merefleksikan dengan
masa Az Zarnuji hidup.
Karya besar ini sebenarnya dapat dan
sangat bisa diterapkan ke arah luar pesantren baik itu madrasah atau
sekolah-sekolah umum. Karena bisa diketahui dari analisis konsep pendidikan Az
Zarnuji cukup banyak yang masih relevan dan baik untuk diajarkan dan ditanamkan
sejak dini.
Pada metodologi pendidikan macam
apapun, ekses pasti ada. Ekses yang yang seringkali dimunculkan untuk menyudutkan
Ta’lim adalah aspek kepatuhan pada
guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, Az Zarnuji sendiri tidak pernah
menganjurkan murid “mengiyakan” kesalahan guru. Pada dasarnya pendidikan yang
berhasilbukanlah diciptakan oleh sekolah dan pesantren saja, akan tetapi
dukungan dari semua pihak yaitu orang tua dan guru sebagai teladan dan
lingkungan sebagai pengaruh pergaulan terbesar dalam hidup seorang anak. Dan
hal ini memang sangat sulit sekali karena memang semua orang bisa memberikan mauidlatul hasanah namun hanya
orang-orang pilihan yang mampu menjadi uswatun
hasanah.
Kalaupun
misalnya hal itu benar-benar ada dan memang pengaruh Ta’lim Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki
faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor
psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan
jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
Kontekstualisasi
terhadap hubungan guru dan murid saat sekarang adalah pemahaman terhadap
pemikiran Az Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada religius ethics. Dengan
mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam pemikiran Az zarnuji
tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan kembali nilai-nilai
etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya sebagai dasar
pembentukan akhlak dan landasan dam membina hubungan yang harmonis antara guru
dengan murid yang berorientasi pada hubungan yang etis-humanis.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Konsep
pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain: (1) Hakikat ilmu dan
keutamaannya; (2) Niat belajar; (3) Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan
dalam belajar; (4) Menghormati ilmu dan ulama; (5) Sungguh-sungguh, kontinuitas
dan minat yang kuat; (6) Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya;
(7) Tawakkal kepada Allah
SWT; (8) Saat terbaik untuk belajar; (9) Kasih sayang dan memberi nasehat; (10) Mengambil pelajaran;
(11) Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar; (12) Penyebab
hafal dan lupa; (13) Masalah rezeki dan umur
Menurut
beliau tentang pola hubungan murid dan guru adalah sebagai berikut: Murid tidak
akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan
terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar
adanya penghormatan murid terhadap guru. guru ideal adalah guru yang alim,
wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta
tanggung jawab terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridla Allah swt.
Metode
pembelajaran menurut beliau meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik
strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan
langkah-langkah dalam belajar.
Beliau
menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau mengetahui banyak peserta
didik yang telah belajar dengan
sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa menyiarkannya. Menurut Az zarnuji hal
tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang
seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu, beliau menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum dengan
maksud menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang seharusnya
mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa
berhasil secara optimal dan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010, Teori belajar dan pembelajaran, Jogjakarta:
Ar-Ruzz media
Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN
Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam
dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press
Jalaluddin dan Usman Said, 1996. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada.
[1] Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010,
Teori belajar dan pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz media, hal. 50
[2] Ibid., hal. 51
[3] Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik
Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press, hal. 268
[4] Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, op. Cit., hal. 53
[5] Ibid., hal. 54
[6] Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, op. Cit., hal 272
[7] Burhanuddin dan Esa nur Wahyuni, op. Cit., hal. 56
[8] Ibid., hal. 56
Related Posts :
Artikel Pendidikan